Rabu, 22 Juli 2009

Tuhan jangan siksa ibunya karena ayahnya salah asuh


Tahun 2001, tepatnya saat Ramadhan ke-2, aku dan ibu sedang menyiapkan keperluan berbuka. tiba-tiba saja seorang tetanggaku datang dan memanggil ibuku dengan nada suara yang terdengar panik. Ibuku yang sedari tadi berkonsentrasi menyiapakan hidangan berbuka menjadi kaget dan segera keluar. Aku yang juga merasa kaget juga menyusul ibuku dibelakang. "ada apa?", tanya ibuku pada tetanggaku tadi dengan nada heran. Wajar saja aku dan ibuku heran, karena waktu berbuka 10 menit lagi. "meninggal ayah si yanti kak. ditelpon orang tu aku tadi dari rumah sakit. katanya mau langsung dibawa ke sidimpuan jenazahnya. pergi la dulu orang kakak nengok kerumah sakit". Sontak saja aku dan keluarga kaget luar biasa, selain karena baru saja dijenguk ayah dan mama tadi ba'da zuhur, rumah keluarga yanti tepat disebelah kanan rumah kami. Ayahku segera memutusakan untuk kerumah sakit Haji Medan. Sesaat kemudian ayahku menelpon agar aku dan kedua abangku menghubungi tetangga untuk menyiapkan rumah duka menyambut kedatangan jenazah.

Tepat pkl.20.20 wib jenazah tiba dirumah duka. Ku lihat yanti menangis tak keruan meratapi jenazah kaku ayahnya, anak perempuan itu ditinggal mati sang ayah di usia 12 tahun. "Bangunlaa yaaahh... ayah kan janji lebaran ini kita pulang kampung". seperti tersengat semua yang ada diruangan itu, mendengar ratapan polos yanti yang memang sangat dekat dan dimanja semasa hidup sang ayah. tapi yanti tidak sendiri, seorang kakak perempuannya "ria" dan seorang abangnya "arif" telah menyandang status yang sama, yatim.

Waktu berlalu. Belum berbilang tahun ayahnya tiada, Arif menjadi-jadi dengan perangai buruknya. Memang semasa hidup mendiang sang ayah, Arif kerap dimanja dan sangat diperturut oleh ayahnya. Jika berkelahi, Arif selalu mendapat pembelaan dari sang ayah. Bahkan jika Arif dimarahi ibunya, maka caci maki tak pelak meluncur dari mulut si ayah tepat dihadapan anak-anak yang tentu saja ditujukan pada si ibu, secara tak langsung anak mendapat didikan untuk menjadi kasar seperti itu. Jelas ini didikan dan contoh yang sangat fatal bagi anak yang masih dalam usia perkembangan mental, cara berpikir dan tingkah laku. Anak akan meniru apa yang ditunjukkan dihadapannya. Tanpa banyak kata, aku menyimpulkan Arif telah di didik sadar atau tidak sadar untuk menjadi seprti yang dicontohkan oleh si ayah, marah, mengamuk. Arif telah salah didik, salah asuh. Arif sering membentak ibunya, marah, mengemuk, memaki, yang semua serapah ditujukan pada ibunya. Naudzubillah. Tapi, jika dia dalam keadaan yang terlihat normal, Arif menjadi orang yang sangat ramah bahkan kepada ibu yang sering dimaki nya. Pernah ku lihat dia menyapu saat dia ditinggal sendiri dirumah, membawa dan membujuk ibunya untuk berobat saat ibunya sakit. "aneh", pikirku dalam hati.

Suatu malam aku terbangun karena mendengar seperti ada pertengkaran. Lamat-lamat coba ku tangkap suara gaduh tersebut. Barang dibanting, suara barang pecah, bentakan-bentakan, semua menggaduh di hening malam. Semakin cooba ku tangkap, ternyata telinga ku menangkap bahwa itu suara Arif. Aku terbangun dan segera keluar kamar, ku dapati ibuku sedang meneliti dari jendela samping rumah kami. Cacian-cacian kami dengar, dan ini kerap terjadi jika Arif dalam keadaan tidak normal, mabuk, atau karena tidak diberi uang.

Sekali waktu aku dan ibuku kembali terbangun karena mendengar tangisan yanti yang mengiba. Aku mendengar suara pintu kamar mandi di gedor dari arah dalam, dan tentu saja aku mengenal suara yang menangis. Itu adalah yanti, yang dikurung dalam kamr mandi pada pkl. 02 dinihari. Aku dan ibuku keluar rumah, kulihat beberapa tetangga juga bangun tapi tak berniat keluar hanya karena satu alasan yang sebenarnya kami juga takut. Takut Arif nekat dan mecelakakan ibunya lebih parah jika kami mencoba masuk dan mengetuk pintu rumahnya dan menyakan "ada apa, kenapa, mengapa". Akhirnya kami hanya menunggu dengan H2C,, harap-harap cemas. Ke-2 abang juga tidak bisa berbuat apa-apa, ayahku yang tidak berada dirumah karena memang bekerja diluar kota semakin membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Keesokan harinya ibuku menyakan sebab musabab pertengkaran semalam. ibu Arif menjelaskan bahwa Arif pulang dengan keadan mabuk. Entah apa sebab dia marah tak karuan, sakau mungkin. Aku dan ibuku terdiam mendengar pengakuan hati seorang ibu yang luka. "tak taulah awak, entah hapa dosa hidup, ditinggal jadi janda dengan titipan anak yang tak terbilangkan tingkahnya" , suara ibu arif membuat aku melemparkan pandangan ke jalanan.

Ria kakak yanti lulus bekerja di perusahaan bonafit dan mengharuskan kakaknya tinggal di luar kota, sedangkan yanti lulus SMU dan melanjutkan studi di kesehatan yang mengharuskan yanti meninggalkan ibunya seorang diri karena yanti wajib tinggal di Asrama kampusnya.

Suatu malam aku dan ibuku kembali terbangun, karena pertengkaran yang acap kali terjadi dirumah sebelah. Aku melirik jam dinding, pkl.01 dinihari. "gila" pekikku. Aku dan ibuku terjaga hingga menjelang subuh, karena mendengar barang-barang pecah dan berserakan. Yang lebih menyakitkan telingaku, Arif marah-marah memaki sambil menyebut-nyebut jenis kemaluan, yang tentu saja ditujukan untuk ibunya, meng"Kau"kan si ibu dengan menyebut kemaluan laki-laki. "Allaaaahh...", ingin rasanya aku menyumpahinya.

Keesokan harinya ibu Arif menceritakan kejadian semalam. "Aku disuruh duduk bersimpuh gak boleh bergerak. Ditumpahkannya minyak lampu yang baru kita antrikan semalam dari atas kepalaku ngucur kebawah. Semua minyak lampu itu disiramnya sama ku. Habis tiga liter yang kuantrikan satu jam." tutur ibu Arif pelan dengan tatapan kosong, air mata tertahan, namun jelas terlihat bahwa ia berusaha menerima keadaan hidupnya. Aku diam sediam ibuku yang tak bisa berkata apa-apa. "Disayatnya daguku pakai pisau dapur yang baru diasah", ibu Arif mendongakkan lehernya sehingga kami dapat melihat luka sayatan di dagu bagian dalam. Berdentum rasa dada ku, " Gila..". Akhirnya aku melihat airmatanya jatuh tanpa isyarat, pelan mengalir, tak lagi dapat ditahannya, ia menangis tanpa suara, tanpa isakan. Air mata itu perlahan mengalir di pipi tuanya, mengairi pipi perempuan yang semakin terlihat tua dan ringkih. Dan aku... aku semakin diam terpekur.

sesaat aku berucap dalam batin
"Tuhan.. jangan siksa ibunya karena ayahnya salah asuh."





Astaghfiruka wa atubu ilaik.







Tidak ada komentar: