Kamis, 30 Juli 2009

yang Muda yang Janda


Aku sebenarnya tidak memiliki teman akrab dalam arti segalanya, hanya saja aku punya banyak teman yang biasa bersama mengisi hari-hari, dan bagi ku mereka bukan teman “akrab” tetapi teman-teman “terbaik”. Aku cukup menjaga silaturrahim dengan orang lain dan siapa saja yang aku kenal walau hanya sekedar menyapa saat bertemu dijalan. Begitu juga dengan beberapa teman masa kecilku yang masih bermukim satu blok dengan tempat tinggalku sekarang. Aku tidak begitu dekat dengan mereka, tapi cukup mengenal mereka. Sebut saja Ebi, Yayan dan Cia. Ebi dan Cia seusia dengan ku, 21 tahun. Sedangkan Yayan berusia setahun lebih muda dari ku, 20 tahun. Namun begitu, ketiga temanku tadi telah menikah dan sekarang telah menyandang status Janda.

Ketiga dari mereka punya cerita tersendiri. Cia, awalnya aku hanya mendengar berita angin yang mengatakan bahwa Cia “kawin lari” (kawin kok lari-lari… alah… ^_^). Cia nekat pergi dari rumah dengan seorang pemuda yang tentu saja aku tidak tahu siapa. Hingga pada lebaran Idul Adha tahun 2007 aku bertemu Cia yang menggendong bayi perempuan berusia 8 bulan yang sangat sehat, montok, lucu dan menggemaskan. Hatiku terpekur, “apa benar Cia memang sudah menikah” selidik hatiku. Ku sapa Cia, dan benar ternyata kabar itu tidak berdusta. Cia mengakui “kawin larinya” padaku, dan mengakui bahwa bayi itu buahnya. “hmmmm…. Benar-benar jujur", salutku dalam hati. Tapi… ada kejujuran lain yang juga meluncur dari ibu muda tersebut yang sangat menyentak aku. Cia mengakui “kawin lari” karena tidak disetujui kaluarga Cia, tapi.. ditengah pernikahan yang baru seumur jagung Cia menggugat cerai suaminya saat usia kandungannya 5 bulan dengan alasan “sang suami tidak bertanggung jawab”. “ah.. Gila… gila”, batinku sungguh tersentak. Syukurnya kepulangan Cia disambut hangat semua keluarga yang telah pernah ia tinggalkan demi seorang laki-laki yang “tidak bertanggung jawab”, bahkan si bayi yang menjadi cucu pertama dalam keluarga tersebut sangat disayang sikakek dan nenek (orang tua Cia). Kutanya apakah dia menyesal telah menikah dengan cara seperti itu hingga mengalami nasib seperti ini. “awalnya menyesal, tapi untuk apa lama-lama menyesal”, jawabnya penuh ketegaran sambil tersenyum menciumi kepala bayi mungil yang ada dalam pelukannya. Aku menggendong bayi itu, seraya berdoa agar Tuhan merahmati anak ini. Karena sesungguhnya orang tua yang salah dalam melangkah.

Lain lagi Yayan, aku tidak tahu menau perihal pernikahan gadis muda tersebut. Hingga pada suatu hari aku melihat Yayan menggendong bayi yang belakangan aku tahu itu bayi laki-laki. Mulanya aku berpikir itu adalah keponakannya, ternyata tidak.. itu adalah anaknya. Tak ada yang salah awalnya hingga aku dibuat benar-benar kaget oleh berita menggegerkan di blok tempat tinggalku. Suami Yayan mati dipenjara (katanya), tak tau apakah karena sakit, dan apa sebab musabab masuk bui. Aku sebenarnya tidak suka dengan desas desus apalagi seputar teman-teman sepermainanku, walau tidak begitu dekat dengan mereka tapi ada rasa miris dihatiku mendengar nama mereka menjadi buah bibir untuk pembicaraan yang tidak baik. Mulanya aku tidak perduli hingga akhirnya aku mendapat kebenaran itu dari Cia, dan itupun karena Cia memulainya, bukan aku yang bertanya.

Jauh berbeda dengan Ebi yang menikah secara baik-baik dan disetujui pihak keluarga. Ebi menikah dengan pesta meriah, jauh bebeda dengan kedua yang diatas. Ebi menikah denagn seorang duda pengusaha perabot. Selang beberapa bulan Ebi mengandung bayi pertamanya yang sekaligus menjadi anak kedua bagi suaminya. Ebi terlihat bahagia dan sejahtera, hingga pada suatu hari disaat Ebi hamil tua dan tinggal menunggu hari untuk bersalin, Ebi mendapat cobaan yang dahsyat. Suaminya mengalami kecalakaan saat pulang dari puncak yang katanya (katanya ni ya…) dalam keadaan mabuk, dan sungguh tak dapat tertolong. Beberapa hari pasca dikebumikan jenazah sang suami, Ebi pun melahirkan bayi perempuan yang putih seputih kulit sang ibu sekaligus barstatus tanpa ayah.

Aku sangat menyadari, tak pernah ada sesiapapun yang bisa menduga jalan hidup. Tak ada yang pernah mau memilih untuk menjadi gagal dan kalah. Aku sendiri hingga kini tidak mengerti bagaimana takdir membawa kita pada cerita hidup. Tapi yang aku tahu, Tuhan juga tidak pernah mempermainkan hambanya dengan skenario yang salah.

Aku saja sebenarnya ingin bisa menikah di usia yang muda seperti beberapa temanku yang sekarang sangat bahagia bersama suami juga anak yang lucu. Aku ingin bisa merajut hidup di usia muda, tapi tentu.. juga dengan laki-laki yang matang dalam memandang hidup, mapan dalam mencari penghidupan, juga melandaskan hatinya pada Sang Khalik, yang bisa diajak bekomunikasi dalam segala hal. Bukan sekedar menikah tanpa ada tanggung jawab, karena.. diakhirat kelak semua akan dipertanyakan.

Rabu, 22 Juli 2009

Aku Rindu Cahaya Mu

tatkala hati ku berayun di lembayung senja
sunyi menerpa jiwa di gersang rasa
lelah di rejam ingkar
kadang sombomg bahkan kufur padaNya yang MENCIPTA yang MENIADAKAN

Allah ya Allah..
andai bisa ku teriakkan..
ingin ku gemakan ASMA MU keseluruh sudut nadiku

Allaaaa...hh
aku ini hamba yang kalah
dalam lelah
dalam pasrah
aku kehilangan arah tersesat kesibukan dunia

ya TUHAN ku..
hanya Engkau yang paham sepi langkah ku
hanya Engkau yang mendengar bahasa jiwa ku ditepi rindu setelah jauh berlari..

Allah ya Allah..
hati ku luka saat tersadar bahwa aku tak lagi hadir dalam jamuan malam tahajud MU
hati ku sepi tatkala ku dapati diri ku perlahan jauh dari MU

Allah...
aku rindu cahaya_cahaya MU
saperti kemarin
saat khusuk mencinta MU
di lembar hari ku

Alhamdulillah ya Rabb

jika saja bisa ku mengHitung tiap lembaran takdir hidup ku,, alangkah banYaknya kealpaan ku padaNya

berTahun ku tidurkan jiwa di temaram hati yang angkuh.. dan kini tersentak pada keMaHaanNYA

bahWa DIA masih begitu setia menJaga tidur juGa naFas ku,, bahKan mengHadiahKan ku dan menGantarKan ku berTemu RamadHan karena kasih NYA

alhamdulillah..

Tuhan pasti memeluk mimpiku

kadang harapan dan mimpi hanya beda tipis.
keduanya memang punya peluang yang sama untuk di wujudkan. tapiii tak jarang orang orang yang telah begitu besar menaruh harap harus menelan satu kata "keKECEWAan" ketika ia sadari itu tak mungkin.

ya,, memang bagi orang yang berani berharap adalah orang orang yang punya kemampuan dan keberanian untuk menjelajahi hidup. tapiii tak jarang juga mereka terbelenggu dan kemudian menangis karena mimpi atau harapan nya ternyata hanyalah kekosongan seperti malam yang dingin seolah tak bertuan.

namun begitu...
selamat bagi para pejuang yang mampu meniti diri di kerasnya rimba dunia.
seperti kata ARAI, "berMIMPIlah karena TUHAN pasti telah memeluk mimpi mimpi mu" dan "TUHAN tau tapi menunggu sejauh apa kesabaran mu" (SANG PEMIMPI)

jauh dari itu semua
satu hal yang ku yakini
Tuhan pasti telah memeluk mimpi mimpi ku walaupun aku tak berani untuk terlalu berharap.

Kau begitu setia untukku

* engkau adalah mimpi malam bagi ku
ku rindu embun tapi fajar tak kunjung tiba
ku nanti senja namum surai teja tak kunjung tiba

engkau laksana sunyi yg mengantar ku dalam lelap
menyanyikan aku lagu syahdu yang senyap
menyelimuti aku dengan usang nya asa jiwa
mejaga aku dengan malaikat Nya

kau juga cahaya sendu di temaram nafasku yg luka
menuntun ku temukan jingga yg pelan ku lepaskan
hingga bias di sapa tangis

terima kasih ku pada mu
karena Kau telah begitu setia untukku ku
di tengah teriak ku yang tak lagi bisa terdengar
kau bisa mendengar tanpa aku bahasakan

sekedar pengingat

kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi besok
kita tidak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi nanti
kita juga tidak akan bisa menyangka apa yang akan kita dapati.. kabaikankah? atau keburukan..

jarang kita menyadari apa yang telah kita miliki
hingga akhirnya kehilangan baru terasa menyesali

jarang kita mensyukuri apa yang telah ada dalam genggaman kita.. hingga akhirnya kita merengek terus menerus seolah berkata "dimana keadilan Tuhan" atau "kenapa Tuhan tidak mendengarku"

kadang kita suka membantah
kita suka menentang
bahkan kadang... suka lupa
tapi kita tidak suka bahkan kadang tak mau disalahkan..
karena telah merasa paling benar

kita tidak tau siapa kita
maka dari itu Tuhan juga enggan membantu kita
jika kita mengenal siapa diri kita
maka kita juga mengenal siapa Tuhan kita
karena kita adalah apa yang kita pikirkan
dengan segala keikhlasan,kesabaran,ketabahan,keteguhan dan kepasrahan. bahwa DIA selalu ada, bahkan lebih dekat dari urat nadi.

Tuhan jangan siksa ibunya karena ayahnya salah asuh


Tahun 2001, tepatnya saat Ramadhan ke-2, aku dan ibu sedang menyiapkan keperluan berbuka. tiba-tiba saja seorang tetanggaku datang dan memanggil ibuku dengan nada suara yang terdengar panik. Ibuku yang sedari tadi berkonsentrasi menyiapakan hidangan berbuka menjadi kaget dan segera keluar. Aku yang juga merasa kaget juga menyusul ibuku dibelakang. "ada apa?", tanya ibuku pada tetanggaku tadi dengan nada heran. Wajar saja aku dan ibuku heran, karena waktu berbuka 10 menit lagi. "meninggal ayah si yanti kak. ditelpon orang tu aku tadi dari rumah sakit. katanya mau langsung dibawa ke sidimpuan jenazahnya. pergi la dulu orang kakak nengok kerumah sakit". Sontak saja aku dan keluarga kaget luar biasa, selain karena baru saja dijenguk ayah dan mama tadi ba'da zuhur, rumah keluarga yanti tepat disebelah kanan rumah kami. Ayahku segera memutusakan untuk kerumah sakit Haji Medan. Sesaat kemudian ayahku menelpon agar aku dan kedua abangku menghubungi tetangga untuk menyiapkan rumah duka menyambut kedatangan jenazah.

Tepat pkl.20.20 wib jenazah tiba dirumah duka. Ku lihat yanti menangis tak keruan meratapi jenazah kaku ayahnya, anak perempuan itu ditinggal mati sang ayah di usia 12 tahun. "Bangunlaa yaaahh... ayah kan janji lebaran ini kita pulang kampung". seperti tersengat semua yang ada diruangan itu, mendengar ratapan polos yanti yang memang sangat dekat dan dimanja semasa hidup sang ayah. tapi yanti tidak sendiri, seorang kakak perempuannya "ria" dan seorang abangnya "arif" telah menyandang status yang sama, yatim.

Waktu berlalu. Belum berbilang tahun ayahnya tiada, Arif menjadi-jadi dengan perangai buruknya. Memang semasa hidup mendiang sang ayah, Arif kerap dimanja dan sangat diperturut oleh ayahnya. Jika berkelahi, Arif selalu mendapat pembelaan dari sang ayah. Bahkan jika Arif dimarahi ibunya, maka caci maki tak pelak meluncur dari mulut si ayah tepat dihadapan anak-anak yang tentu saja ditujukan pada si ibu, secara tak langsung anak mendapat didikan untuk menjadi kasar seperti itu. Jelas ini didikan dan contoh yang sangat fatal bagi anak yang masih dalam usia perkembangan mental, cara berpikir dan tingkah laku. Anak akan meniru apa yang ditunjukkan dihadapannya. Tanpa banyak kata, aku menyimpulkan Arif telah di didik sadar atau tidak sadar untuk menjadi seprti yang dicontohkan oleh si ayah, marah, mengamuk. Arif telah salah didik, salah asuh. Arif sering membentak ibunya, marah, mengemuk, memaki, yang semua serapah ditujukan pada ibunya. Naudzubillah. Tapi, jika dia dalam keadaan yang terlihat normal, Arif menjadi orang yang sangat ramah bahkan kepada ibu yang sering dimaki nya. Pernah ku lihat dia menyapu saat dia ditinggal sendiri dirumah, membawa dan membujuk ibunya untuk berobat saat ibunya sakit. "aneh", pikirku dalam hati.

Suatu malam aku terbangun karena mendengar seperti ada pertengkaran. Lamat-lamat coba ku tangkap suara gaduh tersebut. Barang dibanting, suara barang pecah, bentakan-bentakan, semua menggaduh di hening malam. Semakin cooba ku tangkap, ternyata telinga ku menangkap bahwa itu suara Arif. Aku terbangun dan segera keluar kamar, ku dapati ibuku sedang meneliti dari jendela samping rumah kami. Cacian-cacian kami dengar, dan ini kerap terjadi jika Arif dalam keadaan tidak normal, mabuk, atau karena tidak diberi uang.

Sekali waktu aku dan ibuku kembali terbangun karena mendengar tangisan yanti yang mengiba. Aku mendengar suara pintu kamar mandi di gedor dari arah dalam, dan tentu saja aku mengenal suara yang menangis. Itu adalah yanti, yang dikurung dalam kamr mandi pada pkl. 02 dinihari. Aku dan ibuku keluar rumah, kulihat beberapa tetangga juga bangun tapi tak berniat keluar hanya karena satu alasan yang sebenarnya kami juga takut. Takut Arif nekat dan mecelakakan ibunya lebih parah jika kami mencoba masuk dan mengetuk pintu rumahnya dan menyakan "ada apa, kenapa, mengapa". Akhirnya kami hanya menunggu dengan H2C,, harap-harap cemas. Ke-2 abang juga tidak bisa berbuat apa-apa, ayahku yang tidak berada dirumah karena memang bekerja diluar kota semakin membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Keesokan harinya ibuku menyakan sebab musabab pertengkaran semalam. ibu Arif menjelaskan bahwa Arif pulang dengan keadan mabuk. Entah apa sebab dia marah tak karuan, sakau mungkin. Aku dan ibuku terdiam mendengar pengakuan hati seorang ibu yang luka. "tak taulah awak, entah hapa dosa hidup, ditinggal jadi janda dengan titipan anak yang tak terbilangkan tingkahnya" , suara ibu arif membuat aku melemparkan pandangan ke jalanan.

Ria kakak yanti lulus bekerja di perusahaan bonafit dan mengharuskan kakaknya tinggal di luar kota, sedangkan yanti lulus SMU dan melanjutkan studi di kesehatan yang mengharuskan yanti meninggalkan ibunya seorang diri karena yanti wajib tinggal di Asrama kampusnya.

Suatu malam aku dan ibuku kembali terbangun, karena pertengkaran yang acap kali terjadi dirumah sebelah. Aku melirik jam dinding, pkl.01 dinihari. "gila" pekikku. Aku dan ibuku terjaga hingga menjelang subuh, karena mendengar barang-barang pecah dan berserakan. Yang lebih menyakitkan telingaku, Arif marah-marah memaki sambil menyebut-nyebut jenis kemaluan, yang tentu saja ditujukan untuk ibunya, meng"Kau"kan si ibu dengan menyebut kemaluan laki-laki. "Allaaaahh...", ingin rasanya aku menyumpahinya.

Keesokan harinya ibu Arif menceritakan kejadian semalam. "Aku disuruh duduk bersimpuh gak boleh bergerak. Ditumpahkannya minyak lampu yang baru kita antrikan semalam dari atas kepalaku ngucur kebawah. Semua minyak lampu itu disiramnya sama ku. Habis tiga liter yang kuantrikan satu jam." tutur ibu Arif pelan dengan tatapan kosong, air mata tertahan, namun jelas terlihat bahwa ia berusaha menerima keadaan hidupnya. Aku diam sediam ibuku yang tak bisa berkata apa-apa. "Disayatnya daguku pakai pisau dapur yang baru diasah", ibu Arif mendongakkan lehernya sehingga kami dapat melihat luka sayatan di dagu bagian dalam. Berdentum rasa dada ku, " Gila..". Akhirnya aku melihat airmatanya jatuh tanpa isyarat, pelan mengalir, tak lagi dapat ditahannya, ia menangis tanpa suara, tanpa isakan. Air mata itu perlahan mengalir di pipi tuanya, mengairi pipi perempuan yang semakin terlihat tua dan ringkih. Dan aku... aku semakin diam terpekur.

sesaat aku berucap dalam batin
"Tuhan.. jangan siksa ibunya karena ayahnya salah asuh."





Astaghfiruka wa atubu ilaik.