Sore itu langit terlihat mendung, sedang jam telah menunjukkan pkl.06.20 petang. Sesaat lagi malampun tiba di langit kota medan. Dia hanya bisa mendesah panjang, terduduk di tepi ranjang menunggu anak semata wayangnya yang sejak semalam siang tak jua pulang. Dia coba memanggil via telpon tapi untuk yang kesekian kali lagi dia hanya di jawab oleh mesin operator yang mengatakan bahwa nomor yang sedang ia tuju berada di luar jangkauan. Desah semakin berat, hingga ia menangis seorang diri di tengah kamar yang luas dan didalam rumah yang besar. Hidup sendiri tanpa sanak keluarga sebagai seorang janda dipulau sumatra seorang diri dengan seorang anak perempuan yang ternyata belakangan diketahui bahwa itu adalah anak adopsi.
Tiba-tiba dia tersadar oleh suara mobil yang berhenti didepan rumahnya. dengan langkah lesu dia coba melihat siapa yang datang, ternyata anak perempuannya pulang dalam keadaan yang lain dari biasanya. Rambutnya awut-awutan, celana jeans panjang yang semalam dipakainya telah berganti dengan celana jeans super pendek dan ketat, baju yang tak berlengan dan sangat menunjukkan bentuk tubuhnya yang baru saja mengalami puber. Betapa kagetnya Imah melihat anaknya pulang dengan pakaian seperti itu. lebih menyakitkan lagi bahwa ia mengetahui anaknya diantar oleh seorang laki-laki yang sangat jauh umurnya dari anaknya yang masih duduk dibangku kelas 1 SMP.
Imah coba bertanya kenapa Ana tidak pulang dan tidak memberi kabar,dengan siapa dan kemana Ana semalam pergi tanpa berita. Tapi apa jawaban dari Ana, Ana malah menyenggak ibunya "sibuk kali mama nanya-nanya, Ana cape ma... lapar...". jantung Imah menderuh hebat, tak pernah dia duga kenapa anaknya menjadi seperti ini.
Hari berganti minggu menjadi bulan, tingkah laku Ana semakin tak bisa dikendalikan. Satu hari sepulang Imah dari mengajar di salah satu perguruan tinggi, ia terperanjat melihat anak perempuannya yang masih berumur 13 Tahun tengah asyik menyulut rokok sambil menonton Tv dengan pakaian yang super minim. Imah berang dan memarahi anaknya, tapi apa... Ana lebih kasar lagi menyahuti amarah ibunya bahkan tak segan memaki sang ibu. Dep!!! jantung Imah diamuk gemuruh yang tak pernah ia sangka. Imah semakin hari semakin tak bisa mengendalikan anaknya, awalnya sianak merubah penampilan dengan super minim, kemudian mulai merokok, lalu membawa teman-teman perempuan yang entah dari mana di kenalnya yang belakangan diketahui bahwa mereka (teman-teman Ana) adalah lesbi, hingga kemudian Ana tak masuk-masuk sekolah hingga akhirnya harus dikeluarkan oleh pihak sekolah.
Imah menangis dalam malam menadahkan tangan pada Tuhan, apa yang tengah ia tuai ini, pertanyaan demi pertanyaan membuncah dalam dada nya yang semakin kuat menangis. apa salah terbesar yang pernah ia perbuat hingga Tuhan memberi ia hantaman seberat ini ke dalam jantungnya. Hingga pagi menjelang, Imah tak jua memahami sebab yang membuat ia dan anaknya terjebak dalam situasi seperti ini. Awalnya Ana adalah anak yang sangat cerdas dan berprestasi semasa SD nya, terutama semasa Papa nya hidup. Ana anak yang ceria dan periang, suka menolong dan tak segan memberi berbagi pada orang lain, tapi pasca Papa nya tiada Ana berubah menjadi liar tanpa tau apa penyebabnya.
Semalaman Imah tak tidur. ia menghabiskan waktunya diatas sajadah pengharapan. Dia keluar dari kamar dan menuju kekamar anaknya, ternyata Ana tak pulang dan lagi.... Imah tak tau kemana anaknya pergi. Imah duduk dimeja belajar anaknya, entah kenapa tangannya coba meraih buku yang ada disisi komputer. Perlahan ia coba membuka buku tersebut dan ternyata itu adalah buku harian Ana. lembar demi lembar dia baca, isinya masih seputar cerita Ana tentang bahagianya ia saat liburan bersama Papa dan Mamanya, bahagia saat ia pergi membeli aquarium dan ikan mas louhan bersama Papanya, bahagia saat mencari buku di Toko buku bersama Mamanya, dan hingga akhirnya Imah berhenti pada satu halaman yang membuat tubuhnya bergetar dan berdesir hebat. Dihalaman itu Ana menceritakan bahwa ia mengetahui bahwa dirinya hanya anak adopsi, Ana juga menuliskan bahwa ia sering diolok-olok temannya karena Mamanya lebih cocok jadi Neneknya bukan Mamanya. Usia Mama dan Papa Ana saat mengadopsi memang sudah cukup untuk dikatakan tua. Akibat dari usia Ana yang masih sangat labil, fase perubahan dan pencarian jati diri dari fase anak-anak menuju remaja pada saat mengetahui kenyataan tentang dirinya membuat Ana shock dan sulit menerima kenyataan hidupnya. Imah tertunduk lesu, menangis sejadi-jadinya, Imah tak tau haris mengeluh pada siapa dan siapa yang harus disalahkan. Rasa luka batinnya semakin perih saat mengetahui sebab yang membuat anaknya berubah.
Imah coba bicara baik-baik dengan anaknya tentang kenyataan yang ada, berharap sang anak mengerti dan mau kambali menjadi anak baik yang dulu dimilikinya. tapi.... sia-sia!!! Ana terlanjur jatuh dalam lingkaran Hitam pergaulan bebas, bahkan sering nongkrong ditempat-tempat yang tak wajar didatangi oleh anak seusianya hingga pagi menjamah alam.
Dan hingga kini, Imah memandang semuanya dengan tatapan semu meski jauh dalam batinnya ingin agar Tuhan segera membuka jalan lain untuknya. Ikhtiar untuk menyadarkan anaknya tak putus ia perbuat hingga seluruh harta peninggalan suaminya habis terjual karena sang anak yang tak tau tujuan dari labilnya psikologi. Rasa luka, sesal, kecewa, dan mungkin ingin menyerah telah berbaur menjadi satu dalam relungnya. Meski dia gontai dalam kesendirian namun asa akan Tuhan tetap terlihat dalam senyum Imah yang sendu.
Tiba-tiba dia tersadar oleh suara mobil yang berhenti didepan rumahnya. dengan langkah lesu dia coba melihat siapa yang datang, ternyata anak perempuannya pulang dalam keadaan yang lain dari biasanya. Rambutnya awut-awutan, celana jeans panjang yang semalam dipakainya telah berganti dengan celana jeans super pendek dan ketat, baju yang tak berlengan dan sangat menunjukkan bentuk tubuhnya yang baru saja mengalami puber. Betapa kagetnya Imah melihat anaknya pulang dengan pakaian seperti itu. lebih menyakitkan lagi bahwa ia mengetahui anaknya diantar oleh seorang laki-laki yang sangat jauh umurnya dari anaknya yang masih duduk dibangku kelas 1 SMP.
Imah coba bertanya kenapa Ana tidak pulang dan tidak memberi kabar,dengan siapa dan kemana Ana semalam pergi tanpa berita. Tapi apa jawaban dari Ana, Ana malah menyenggak ibunya "sibuk kali mama nanya-nanya, Ana cape ma... lapar...". jantung Imah menderuh hebat, tak pernah dia duga kenapa anaknya menjadi seperti ini.
Hari berganti minggu menjadi bulan, tingkah laku Ana semakin tak bisa dikendalikan. Satu hari sepulang Imah dari mengajar di salah satu perguruan tinggi, ia terperanjat melihat anak perempuannya yang masih berumur 13 Tahun tengah asyik menyulut rokok sambil menonton Tv dengan pakaian yang super minim. Imah berang dan memarahi anaknya, tapi apa... Ana lebih kasar lagi menyahuti amarah ibunya bahkan tak segan memaki sang ibu. Dep!!! jantung Imah diamuk gemuruh yang tak pernah ia sangka. Imah semakin hari semakin tak bisa mengendalikan anaknya, awalnya sianak merubah penampilan dengan super minim, kemudian mulai merokok, lalu membawa teman-teman perempuan yang entah dari mana di kenalnya yang belakangan diketahui bahwa mereka (teman-teman Ana) adalah lesbi, hingga kemudian Ana tak masuk-masuk sekolah hingga akhirnya harus dikeluarkan oleh pihak sekolah.
Imah menangis dalam malam menadahkan tangan pada Tuhan, apa yang tengah ia tuai ini, pertanyaan demi pertanyaan membuncah dalam dada nya yang semakin kuat menangis. apa salah terbesar yang pernah ia perbuat hingga Tuhan memberi ia hantaman seberat ini ke dalam jantungnya. Hingga pagi menjelang, Imah tak jua memahami sebab yang membuat ia dan anaknya terjebak dalam situasi seperti ini. Awalnya Ana adalah anak yang sangat cerdas dan berprestasi semasa SD nya, terutama semasa Papa nya hidup. Ana anak yang ceria dan periang, suka menolong dan tak segan memberi berbagi pada orang lain, tapi pasca Papa nya tiada Ana berubah menjadi liar tanpa tau apa penyebabnya.
Semalaman Imah tak tidur. ia menghabiskan waktunya diatas sajadah pengharapan. Dia keluar dari kamar dan menuju kekamar anaknya, ternyata Ana tak pulang dan lagi.... Imah tak tau kemana anaknya pergi. Imah duduk dimeja belajar anaknya, entah kenapa tangannya coba meraih buku yang ada disisi komputer. Perlahan ia coba membuka buku tersebut dan ternyata itu adalah buku harian Ana. lembar demi lembar dia baca, isinya masih seputar cerita Ana tentang bahagianya ia saat liburan bersama Papa dan Mamanya, bahagia saat ia pergi membeli aquarium dan ikan mas louhan bersama Papanya, bahagia saat mencari buku di Toko buku bersama Mamanya, dan hingga akhirnya Imah berhenti pada satu halaman yang membuat tubuhnya bergetar dan berdesir hebat. Dihalaman itu Ana menceritakan bahwa ia mengetahui bahwa dirinya hanya anak adopsi, Ana juga menuliskan bahwa ia sering diolok-olok temannya karena Mamanya lebih cocok jadi Neneknya bukan Mamanya. Usia Mama dan Papa Ana saat mengadopsi memang sudah cukup untuk dikatakan tua. Akibat dari usia Ana yang masih sangat labil, fase perubahan dan pencarian jati diri dari fase anak-anak menuju remaja pada saat mengetahui kenyataan tentang dirinya membuat Ana shock dan sulit menerima kenyataan hidupnya. Imah tertunduk lesu, menangis sejadi-jadinya, Imah tak tau haris mengeluh pada siapa dan siapa yang harus disalahkan. Rasa luka batinnya semakin perih saat mengetahui sebab yang membuat anaknya berubah.
Imah coba bicara baik-baik dengan anaknya tentang kenyataan yang ada, berharap sang anak mengerti dan mau kambali menjadi anak baik yang dulu dimilikinya. tapi.... sia-sia!!! Ana terlanjur jatuh dalam lingkaran Hitam pergaulan bebas, bahkan sering nongkrong ditempat-tempat yang tak wajar didatangi oleh anak seusianya hingga pagi menjamah alam.
Dan hingga kini, Imah memandang semuanya dengan tatapan semu meski jauh dalam batinnya ingin agar Tuhan segera membuka jalan lain untuknya. Ikhtiar untuk menyadarkan anaknya tak putus ia perbuat hingga seluruh harta peninggalan suaminya habis terjual karena sang anak yang tak tau tujuan dari labilnya psikologi. Rasa luka, sesal, kecewa, dan mungkin ingin menyerah telah berbaur menjadi satu dalam relungnya. Meski dia gontai dalam kesendirian namun asa akan Tuhan tetap terlihat dalam senyum Imah yang sendu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar